ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. “S” DENGAN TRAUMA CAPITIS BERAT (TCB) DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A.
Definisi
Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan
kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak.
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen
B.
Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara
lain :Benda tajam, Trauma benda
tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda
tumpul, dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak
Penyebab
lain
1.
kecelakaan lalulintas
2.
Jatuh
3.
Pukulan
4.
Kejatuhan benda
5.
Kecelakaan kerja / industry
6.
Cidera lahir
7.
luka tembak
Mekanisme
cidera kepala :
1.
Ekselerasi :Ketika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam.Contoh : akibat pukulan lemparan.
2.
Deselerasi :Akibat kepala membentur
benda yang tidak bergerak.Contoh : kepala membentur aspal.
3.
Deforinitas :Dihubungkan dengan
perubahan bentuk atau gangguan integritas bagian tubuh yang dipengaruhi oleh
kekuatan pada tengkorak.
Berdasarkan
berat ringannya :
1.
Cidera kepala ringan →
G C S : 13 – 15
2.
Cidera kepala sedang →
G C S : 9 – 12
3.
Cidera kepala berat →
G C S : 3 – 8
Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan
kendaraan bermotor.jatuh dan terpeleset.Biomekanika cedera kepala ringan yang
utama adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek
ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan
dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol. Gaya
benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus (diffuse axonal injury)
atau cedera coup-contra.coup.
C.
Patofisiologi
Pada cedera kepala,
kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis,
dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan
dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi
kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan
lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.
Akselerasi-deselerasi
terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder
terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan
ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara
berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa
natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
Trauma kepala
Jaringan
otak rusak (kontusio, laserasi)
|
Terputusnya
kontinuitas jaringan tulang
|
Terputusnya
kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler
|
-Perubahan outoregulasi
-Odem
cerebral
|
-Perdarahan
-Hematoma
|
Gangguan suplai darah
|
Iskemia
|
Perubahan sirkulasi CSS
|
Perubahan
perfusi jaringan
|
Peningkatan
TIK
|
Girus medialis lobus
temporalis tergeser
|
Kejang
|
Gangg.
Neurologis fokal
|
Hipoksia
|
1. Bersihan
jln. nafas
2. Obstruksi
jln. nafas
3. Dispnea
4. Henti
nafas
5. Perub.
Pola nafas
|
Resiko
tidak efektifnya jln. nafas
|
Defisit
Neurologis
|
Gangg.
persepsi sensori
|
Gangg.
fungsi otak
|
Herniasi
unkus
|
Mesesenfalon tertekan
|
Gangg.
kesadaran
|
Resiko injuri
|
Nyeri
|
Resiko
infeksi
|
|
Cemas
|
Immobilisasi
|
Resiko
kurangnya volume cairan
|
Resiko gangg. integritaskulit
|
Tonsil cerebelumtergeser
|
Kompresi
medula oblongata
|
Kurangnya
perawatan diri
|
D. Tanda dan Gejala
a. Commotio Cerebri
1.
Tidak sadar
selama kurang atau sama dengan 10 menit.
2.
Mual dan muntah
3.
Nyeri kepala
(pusing)
4.
Nadi, suhu, TD
menurun atau normal
b. Contosio Cerebri
1.
Tidak sadar
lebih dari 10 menit
2.
Amnesia
anterograde
3.
Mual dan muntah
4.
Penurunan
tingkat kesadaran
5.
Gejala
neurologi, seperti parese
6.
LP berdarah
c. Laserasio Serebri
1.
Jaringan robek
akibat fragmen taham
2.
Pingsan maupun
tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3.
Kelumpuhan
anggota gerak
4.
Kelumpuhan saraf
otak
E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. X-ray
Tengkorak
Peralatan
diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur
karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau
perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak
ada.
b. CT-Scan
Penemuan
awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada
waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan
dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik
bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif
normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan
dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT
scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area
yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
c. Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
Magnetic
Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia albadan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak
pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan
kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti
merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD).
Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya
CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari
MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan,
tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya
defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.
F. Komplikasi
1.
Jangka pendek
a.
Hematoma epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater.
Terjadi akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Gejalanya
yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul
gejala-gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran
menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan
mula-mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap
refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam) dengan adanya
lucid interval, peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparese Pada
pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan. Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.
Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan
traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reflex tendon meninggi dan refleks
patologik positif. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada bagian hiperdens yang
bikonveks dan LCS biasanya jernih. Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi
darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.
b. Hematom
subdural
Letak subdural yaitu di
bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan
bridging veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri.
Gejala subakut mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala
kronis timbul 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada pemeriksaan
CT-Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian terdapat
bagian hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim
otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang
tengkorak). Juga terlihat bagian isodens dari midline yang bergeser. Operasi
sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi)
dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri
dari trepanasidekompresi.
c. Perdarahan
Intraserebral
Perdarahan dalam cortex
cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus temporalis.
Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa
perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral
luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan
gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik
sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
d. Perdarahan
Subarachnoid
Perdarahan di dalam
rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir
selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala;
Penurunan kesadaran ; Hemiparese; Dilatasi pupil ipsilateral; Kaku kuduk
e. Oedema
serebri
Pada keadaan ini otak
membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam.
Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga
tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi dan kesadaran
menurun.
2.
Jangka
panjang
a.
Kerusakan saraf cranial
a)
Anosmia :Kerusakan nervus
olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total
disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan
khusus bagi penderita anosmia.
b)
Gangguan penglihatan :Gangguan pada nervus
opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma
di sekitar mata, proptosis
akibat adanya perdarahan,
dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa
penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan,
tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut
bersifat irreversible.
c)
Oftalmoplegi :Oftalmoplegi adalah
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis
dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan
khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
d)
Paresis fasialis :Umumnya gejala klinik
muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan
dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.
e)
Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran
sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus
karena ada hubungan yang
erat antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang
berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada
organ lain.
b.
Disfasia
Secara ringkas , disfasia
dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa
disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan
perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech
therapy.
c.
Hemiparesis
Hemiparesis atau
kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi
klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks,
atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah
perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi
transtentorial.
d.
Sindrom pasca cedera kepala
Sindrom pasca trauma
kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan
gangguan fungsi seksual.
e.
Fistula karotiko-kavernosus
Fistula
karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri k
arotis interna dengan sinus k avernosus, umumnya disebabkan oleh
cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis
disertai hyperemia
dan pembengkakan
konjungtiva, diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri
pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f.
Epilepsi
Epilepsi pascatrauma
kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma (early
posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu
pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya
muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan
therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
- Observasi
24 jam
- Jika
pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
- Berikan
terapi intravena bila ada indikasi.
- Anak
diistirahatkan atau tirah baring.
- Profilaksis
diberikan bila ada indikasi.
- Pemberian
obat-obat untuk vaskulasisasi.
- Pemberian
obat-obat analgetik.
- Pembedahan
bila ada indikasi.
H. Prognosis
Prognosis setelah
cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan
cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien
setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Pengkajian
Primer
a.
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
b.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama
pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan
cuping hidung.
c.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
d.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Cidera kepala
ringan → G C S : 13 – 15
Cidera kepala
sedang → G C S : 9 – 12
Cidera kepala
berat → G C S : 3 – 8
e.
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2.
Pengkajian
Sekunder
a.
Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa
penyebab nyeri/cedera. Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b.
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau
kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan
pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah
mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah
kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.
c.
Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit
sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi,
reflek batuk yang kurang
2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan
tekanan intrakranial.
3. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese,
kelemahanan.
C. Intervensi Keperawatan
1.
Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang. Tujuan
: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka masalah perukaran gas
teratasi dengan
Kriteria
Hasil: · Tidak ada gangguan jalan napas · Lendir dapat batukkan/sekret dapat
keluar. · Pernapasan teratur.
Intervensi:
1.
Kaji pernapasan,
suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat tambahan.
R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi
sekret ·
2.
Catat
karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)
R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental ·
3.
Anjurkan minum
2500cc/hari.
R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan ·
4.
Beri posisi
fowler
R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan
bernapas ·
5.
Kolaborasi
pemberian O2 dan pengobatan/therapi
R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret
2.
Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan
: setelah diberikan tindakn keperawatan selama …x… perfusi jaringan otak
membaik dengan
Kriteria
Hasil: · Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK, Terorientasi pada tempat, waktu
dan respon ,Tidak ada gangguan tingkat kesadaran ·
Intervensi
1.
Kaji status
neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu naik, pernapasan
sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.
R/ :Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga
dapat mengantisipasinya. ·
2.
Temukan faktor
penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan potensial terjadi
peningkatan TIK.
R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang
diberikan.
3.
Monitor suhu
tubuh
R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan
menunjukkan adanya kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan
metabolisme tubuh.
4.
Berikan posisi
antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang lebih 30 derajat.
R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK ·
5.
Kolaborasi Pemberikan
obat diuretik seperti manitol, diamox
R/: Membantu mengurangi edema otak
3. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan
Tujuan
: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… makas hambatan mobilisasi
fisik teratasi dengan
Kriteria
Hasil: · Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang tunjukkan dengan
tidak adanya kontraktur, Tidak terjadi peningkatan TIK Intervensi: ·
1.
Lakukan latihan
pasif sedini mungkin
R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot. ·
2.
Beri footboard/penyangga
kaki
R/: Mempertahankan posisi ekstremitas ·
3.
Pertahankan
posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan
terjadi dislokasi ·
4.
Kolaborasi
fisioterapi
R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur
1. Carpenito - Moyet, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta
: EGC
2. Darwis, Aprisal. 2014. Konsep Dasar Trauma Kepala (Trauma Kapitis).
(http://www.abcmedika.com/2014/02/konsep-dasar-trauma-kepala-trauma.html) di
akses pada tangal 22 Agustus
2018
3. Dongues, Marilyn E, dkk. 2000. Rencana Asuah Keperawatan : Pedoman
Untukperencanaan Dan Pendokumentasian Perawtan Pasie. Jakarta : EGC
4.
Ilyas, Kamal Kharrazi 2011 Gambaran Glasgow
Coma Scale Pada Pasien Trauma Kapitis Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun
2009 (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21501)
diakses pada tanggal 22 Agustus
2018
5. Prince, Sylivia A & Wilson, Lorraine M.
2013. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Peyakit. Jakarta : EGC
6. Smeltzer, Suzanne C& Bare, Brenda G.
2002. Buku Ajar Eperawtan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC
7. Wilkinson, Judith M, & Ahern, Nancy R.
2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta : EGC
UNIT GAWAT DARURAT RS BHAYANGKARA MAKASSAR
KAJIAN KEPERAWATAN UNIT GAWAT DARURAT
Unit : IGD RS Bhayangkara Tgl Pengkajian : 21-08-2018
Tanggal datang di UGD: 21-08-2018 Jam
Masuk : 00. 45
Jam
Keluar : 04. 40
Auto
Anamnesa :
Allo
Anamnesa :
NO.
Rekam Medik : 298359
I.
Identitas:
A.
Klien
Nama (Inisial) :
Tn. “S”
Tempat/Tgl Lahir :
Bayoa, 31-12-1941
Status Perkawinan :
Menikah
Agama/Suku :
Islam/ Makassar
Warganegara :
Indonesia
Pendidikan :
SMA
Pekerjaan :
Wiraswasta
Alamat Rumah :
Bayoa Barombong
B.
Pengantar
Nama :
Tn. “R”
Alamat :
Bayoa Barombong
Hubungan dg klien :
Anak
C.
Triage : Gawat Darurat (Merah)
Diagnosa Masuk IGD :
Trauma Capitis Berat (TCB) GCS 8
1. Keluhan masuk : Pasien penurunan kesadaran dan perdarahan hidung
2. Riwayat :
Keluarga mengatakan bahwa sekitar pukul ±
23.00 pasien ingin membuang air kecil, lalu bergegas
ke kamar mandi namun, ketika ingin melangkah turun tiba-tiba pasien terjatuh,
pada saat itu kondisi pasien tidak stabil dikarenakan pasien masih dalam tahap
pemulian setelah demam ± 4 hari yang
lalu. Keluarga mengatakan paa saat itu pasien sempat berteriak meminta tolong “allei’a, pa’risi’ki ulungku”. Pasien
jatuh dari tangga setinggi ± 2 meter sekitar sejam yang lalu, dengan posisi
kepala terbentur pada batu dan terjadi perdaraan pada hidung ± 50 cc.
3. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada riwayat penyakit keluarga.
Pasien
memiliki riwayat hipertensi
4. Riwayat alergi : Tidak ada riwayat alergi makanan, minuman
maupun obat-obatan
PENGKAJIAN DIAGNOSA
KEPERAWATAN
(Isi
kotak dengan tanda v) (Isi
kotak dengan angka)
A.
Airway (Jalan nafas) 1. Aktual 2. Risiko
3. Tidak
|
|
Sumbatan
|
Benda
asing Sputum Ketidakefektifan
bersihan jalan
Lidah jatuh Cairan nafas
b.d spasme jalan nafas
Tidak
ada
Terdapat bunyi snoring pada jalan nafas Rencana tindakan keperawatan
1. Buat jalan nafas dengan teknik head till, Chin lift atau Jaw thrust
2. Bersihkan jalan nafas dengan teknik finger swep
3. Masukkan alat Oropharyngeal airway (OPA)
B.
|
Breathing (Pernafasan)
Inspeksi Ketidakefektifan
pola nafas b.d
|
Frekuensu
nafas: 28 x/menit
cedera midula spinalis
Teratur Tidak
teratur
|
Batuk Rencana tindakan keperawatan
Produktif Non produktif 1.
Pertahankan kepatenan jalan nafas
2.
Kolaborasi pemberian Oksigen
|
Nafas 3.
Monitor tanda-tanda vital
|
Sesak Retraksi dada
Apnoe
Auskultasi:
Suara nafas
|
Wheezing Ronchi
Rales
Perkusi:
Pekak Sonor
|
Timpani Redup
|
Palpasi:
Vocal fremitus Nyeri
C.
Circulation
|
Penurunan curah jantung b.d
Suhu : 36, 4 oC Perubahan frekuensi jantung
Tekanan Darah : 160/90 mmhg Rencana tindakan keperawatan
Heart rate : 100 x/menit 1.
Monitor EKG
Nadi : 62 x/menit 2. Monitor
keseimbangan cairan
(√ ) Lemah 3.
Lakukan penilaian sirkulasi perifer
Turgor kulit 4. Monitor
TTV
(√ ) Baik namum lembab
Warna kulit
(√) Pucat
Mata cekung
(√) Tidak
(√)
Capilary refily time < 3 detik
(√) Ekstremitas dingin (akral dingin)
(-) mual (-) muntah
(√) Nyeri kepala
(√)
Perdarahan ± 50 cc, melalui hidung
(-)
nyeri dada
Pemeriksaan Laboratorium (21-08-2018)
Jenis
Pemeriksaan
|
Hasil
|
Nilai
normal
|
WBC
|
16,84
(10^3u/L)
|
4,00 – 10,
00
|
RBC
|
3,85
(10^6u/L)
|
3,50 – 5,50
|
HGB
|
12,6 (g/dL)
|
12,0 – 18,0
|
HCT
|
40,3 (%)
|
37,0 – 54,0
|
MCV
|
104,8 (fL)
|
80,0 -100.0
|
MCH
|
32,7 (pg)
|
27,0 – 34,0
|
MCHC
|
31,2 (g/dL)
|
32,0 – 36,0
|
PLT
|
182
(10^3u/L)
|
150 – 400
|
PCT
|
0,106 (%)
|
0,108 –
0,282
|
P-LCC
|
23 (10^3u/L)
|
30 – 90
|
Radiologi:
Rencana
dilakukan pemerikasaan CT-Scan Kepala ketika keadaan uum pasien baik
Electrocardiogram
Kesimpulan
: WNL (Within normal limits)
D.
Disabiliy
|
Pupil Isokor Risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan
Reflek cahaya : positif (+) cerebral dengan faktor risiko
hipertensi
Kuantitatif : M5 V2 E1 GCS 8 dan trauma
Kualitatif : Samnolen
Rencana Tindakan keperawatan
1. Monitor adanya kebingungan
2. Kolaborasi pemberian obat
3. Monitor tanda-tanda vital
E.
Eksposure
Pemeriksaan secara head to toe luka/jejas pada
daerah
Luka lebam pada lengan tangan kanan dan luka lecet
pada pipi serta pelipis kanan
F.
Folley Catheter
Pemasangan kateter
Urine yan keluar 700 cc
Warna : Kuning
G.
Gastric Tube
Tidak dilakukan pemasangan NGT
Going to
(-) ICU (-) Rawat Inap (+) Meninggal
(-) Pulang (-) Rujuk RS lain
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Inisial Pasien :
Tn. “S” Hari/Tanggal : Selasa, 21-08-2018
Diagnosa Medik :
TCB GCS 8 Ruangan : IGD
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
Implementasi
|
Evaluasi
|
|
Jam
|
Tindakan
|
|||
1
|
Ketidakeektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme jalan nafas
|
00.46
00.48
00.50
|
1. Membebaskan
jalan nafas dengan teknik head till, Chin lift atau Jaw thrust
H/
Jalan nafas bebas
2. Membersihkan
jalan nafas dengan teknik finger swep
H/
Jalan nafas bebas dari sputum
3. Memasukkan
alat Oropharyngeal airway (OPA)
4. H/
dilakukan pemasangan gudel ukuran 3
|
A : Pertahankan intervensi
1. Bebaskan
jalan nafas dengan teknik head till,
Chin lift atau Jaw thrust
2. Bersihkan
jalan nafas dengan teknik finger swep
3. Masukkan
alat Oropharyngeal airway (OPA)
4. Lakukan
suction (bila diperlukan)
B :
Pertahankan intervensi
1. Pertahankan
kepatenan jalan nafas
2. Kolaborasi
pemberian Oksigen
3. Monitor
tanda-tanda vital
C :
Pertahankan Intervensi
1. Lakukan
penilaian sirkulasi perifer
2. Monitor
TTV
D :
Pertahankan intervensi
1. Monitor
adanya kebingungan
2. Kolaborasi
pemberian obat
3. Monitor
tanda-tanda vital
E : Clear
|
2
|
Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan cedera medula spinalis
|
00.52
00.55
01.00
|
1. Mempertahankan
kepatenan jalan nafas
H/
Jalan nafas paten dengan posisi head till chin lif
2. Mengkolaborasi
pemberian Oksigen nafas
H/
Pemberian O2 simple mask 8 lpm
3. Monitorong
tanda-tanda vital
H/
TD
: 160/90 mmg
N
: 65 x/i
S
: 36.5 oC
P
: 28 x/i
|
|
3
|
Penurunan
curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
|
01.10
01.15
01.20
02.00
|
1. Monitoring
EKG
H/
WNL
2. Monitoring
keseimbangan cairan
H/
Intake
: Infus dan obat injeksi :±450 cc
Output
: 700 cc
3. Melakukan
penilaian sirkulasi perifer
H/
CRT > 3 detik
4. Monitoring
TTV
TD
: 200/ 100
N:
102 x/i
S
: 36, 7oC
P:
25 x/i
|
|
4
|
Risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan
dengan
faktor risiko hipertensi
dan
trauma
|
02.05
02.10
02.30
|
1. Monitoring
adanya kebingungan
H/ Pasien penurunan kesadaran
GCS 8
2. Kolaborasi
pemberian obat
H/
Injeksi Ranitidin 2 ml
Injeksi Santagesik 2 ml
Injeksi Cefriaxcone 1 gr
Injeksi piracetam 3 gr
3. Monitoring
TTV
TD
: 180/90 mmhg
N:
100 x/i
P
: 25 x/i
S
: 36,5 oC
|
Observasi Lanjutan :
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
Implementasi
Keperawatan
|
Evaluasi
|
|
Jam
|
Tindakan
|
|
||
1
|
Ketidakeektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan spasme jalan nafas
|
02.45
|
Jalan nafas bebas
|
A
:Observasi dan
pertahankan intervensi
1. Bebaskan
jalan nafas dengan teknik head till,
Chin lift atau Jaw thrust
2. Lakukan
suction (bila diperlukan
|
2
|
Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan cedera medula spinalis
|
02.47
|
Pola nafas baik dengan bantuan oksigen
simple mask 8 lpm
|
B
: Observasi dan
pertahankan intervensi
1. Monitor
pemberian Oksigen
2. Monitor
tanda-tanda vital
|
3
|
Penurunan
curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
|
02. 50
02.55
|
1. Melakukan
penilaian sirkulasi perifer
H/
CRT > 3 detik
2. Monitoring
TTV
H/
TD
: 150/100
N:
87 x/i
S
: 36, 7oC
P:
25 x/i
|
C
: Observasi dan
Pertahankan intervensi
1. Lakukan
penilaian sirkulasi perifer
2. Monitor
TTV
|
4
|
Risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan
dengan
faktor risiko hipertensi
dan
trauma
|
03.00
|
Monitoring adanya kebingungan
H/ Pasien penurunan kesadaran GCS 8
|
D
: Observasi dan
pertahankan
intervensi
1. Monitor
tingkat kesadaran
|
Observasi Lanjutan :
Data
|
Jam
|
Tindakan
|
Evaluasi
|
Risiko
Syok
Data :
1. Tanda
– Tanda Vital
TD : 128/76 mmhg
N : 57 x/i
S: 36,4 oC
P : 15 x/i
Sat O2 : 84 %
2. Warna
kulit sianosis dan lembab
3. Akral
dingin
4. CRT
> 3 detik
5. GCS
: 4
E2 M1V1
|
03.35
|
1. Memasang
Jackson Rees dengan pemberian O2 12 lpm
H /
TTV :
TD : 80/60 mmhg
S: 36,4 oC
P : 18 x/i
N : 55 x/i
2. Monitoring
CRT
H/ CRT > 3 detik
3. Monitoring
TTV
TD : 80/57 mmhg
N : 57 x/i
S: 36,4 oC
P : 12 x/i
Sat O2 : 84 %
|
A : Jalan nafas paten
B : Pertahankan intervensi
1. Monitor pemberian O2
C : Pertahankan intervensi
1. Monitor
sirkulasi
D: Pertahankan intervensi
1. Monitor
Tingkat kesadaan
E : Clear
|
1. KU
tidak baik
2. GCS
4
3. TTV
TD : 80/57 mmhg
N : 50 x/i
S: 36,4 oC
P : 10 x/i
Sat O2 : 84 %
|
04.40
|
1. Monitoring
TTV
H/
TD :
N : Garis Lurus
Asistol
S :
P :
2. Monitor
Pupil
H/
Pupil midriasis total
Refleks cahaya negatif
Tidak teraba arteri karotis
|
Pasien
meninggal
Intervensi
Selesai
|
PATHWAY KASUS
Riwayat jatuh
Trauma
Kepala
Ekstra Kranial Tulang
Kranial Intrakranial
Abrasi, konsutio, Fraktur kubah kranial Laserasi otak
Laserasi fraktur
basal kranial
edema
serebral
Terputusnya Pecanya
pembuluh darah
kontinuitas jaringan Dispnea,
Hematom : Hemoragi nassal
Perdarahan, Hematoma hipoksia
|
Kontusio otak, edema serebral
Dx: Risiko Infeksi
Peningkatan
TIK Dx: Ketidakefektifan
pola nafas
Penurunan kesadaran Lidah jatuh
|
Dx : Risiko ketidakefektifan perfusi Akumulasi saliva
Jaringan
serebral pada
rongga mulut
Obstruksi jalan nafas
|
Dx: Ketidakefektif bersihan jalan nafas
Saraf simpatis terganggu
|
Penurunan kontraktilitas ventrikel
Dx:
Penurunan Curah jantung Tekanan aktrium meningkat
Bila ada yang ingin request materi selahkan coment or
BalasHapusEmail : ishaksul8@gmail.com
Wa/Hp : 082395396839