Jumat, 30 Maret 2018

ASKEP GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DENGAN KASUS CHOLELITIASIS POST OPERASI


 ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM  PENCERNAAN DENGAN KASUS CHOLELITIASIS  POST OPERASI 




A.    Konsep Dasar
1.      PENDAHULUAN
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
2.      ANATOMI FISIOLOGI
Anatomi sistem empedu
Sistem bilier terdiri dari organ dan saluran (saluran empedu, kandung empedu, dan struktur yang terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi empedu. Transportasi empedu berikut urutan ini: Bila sel-sel hati mensekresi kan empedu, maka dikumpulkan oleh sistem saluran yang mengalir dari hati melalui saluran hati kanan dan kiri.
Saluran ini akhirnya mengalir ke duktus hepatik umum. Duktus hepatika komunis kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari kandung emped u untuk membentuk saluran empedu, yang berlangsung dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak empedu semua berjalan langsung ke dalam duodenum. Sekitar 50 persen dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah pertama yang disimpan di kantong empedu, organ berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati. Kemudian, saat makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan melepaskan disimpan empedu ke duodenum untuk membantu memecah lemak.
Fungsi utama sistem empedu ini termasuk yait menguras produk limbah dari hati ke duodenum  untuk membantu pencernaan dengan rilis terkendali empedu
Empedu adalah cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk limbah, kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua fungsi utama, termasuk yang berikut:
a.       untuk mengangkut sampah
b.      untuk memecah lemak selama proses pencernaan
Garam empedu adalah komponen yang sebenarnya yang membantu memecah dan menyerap lemak. Empedu, yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tinja, adalah apa yang memberi tinja berwarna gelap cokelat
3.      PENGERTIAN
Kolelitiasis (kalkulus / kalkuli , batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari unsur – unsur padat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Brunner & Suddart, 2002)
Kolelitiasis yaitu suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu.Kolelithiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Jika material ini ditemukan di dalam saluran empedu disebut (koledokolitiasis).
4.      KLASIFIKASI
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan :
a.       Batu kolesterol.
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol
b.      Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
c.       Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi

5.      ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
 Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
  Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin ) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningatakan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan.Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu ,dibanding penyebab terbentuknya batu.
6.      PATOFISIOLOGI
Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan sebagian besar batu di dalam saluran empedu berasal dari kandung empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran atau setelah dilakukan pengangkatan kandung empedu.Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Sebagian besar batu empedu dalam jangka waktu yang lama tidak menimbulkan gejala, terutama bila batu menetap di kandung empedu. Kadang-kadang batu yang besar secara bertahap akan mengikis dinding kandung empedu dan masuk ke usus halus atau usus besar, dan menyebabkan penyumbatan usus (ileus batu empedu). Yang lebih sering terjadi adalah batu empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke dalam saluran empedu. Dari saluran empedu, batu empedu bisa masuk ke usus halus atau tetap berada di dalam saluran empedu tanpa menimbulkan gangguan aliran empedu maupun gejala.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam- garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.
a.     Batu kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain.  Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya tergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid dalam empedu). Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningktan sintesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar getah empedu, mengendap, dan membentuk batu.  Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebgai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
Menurut Meyers & Jones, 1990, proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:
1)      Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
2)      Pembentukan nidus  atau inti pengendapan kolesterol
3)      Kristalisasi/presipitasi.
4)      Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang membentuk matriks batu.
b.     Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total kasus batu empedu, mengandung <20% kolesterol. Batu pigmen dapat dibagi kepada 2, yaitu :
1)      Batu kalsium bilirunat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen coklat. Baik enzim ß-glukoronidase endogen maupun yang berasal dari bakteri ternyata mempunyai peran penting dalam pembentukan batu pigmen ini. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
2)      Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik). Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
7.      TANDA DAN GEJALA
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga 80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya (Robbins,2007). Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang. (Sjamsuhidajat,2005)
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu.
8.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Ronsen abdomen/pemeriksaan sinar X/Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi
pemeriksaannya hanya 15-20 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan.
2.       Kolangiogram/kolangiografi transhepatik perkutan.
Yaitu melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dansyokseptik.

3.      ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel kedalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu diduktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
9.      KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1)      Obstruksi duktus sistikus                                                                           
2)      Kolik bilier
3)      Kolesistisis akut (peradangan pada dinding kantung empedu)
a.       Empiema
b.      Perikolesistisis
c.       Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. ferforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar 30%.
4)      Kolesistisis kronis :
a.       Hidrop kandung empedu
b.      Empiema kandung empedu
c.       Fistel kolesistoenterik
d.      Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata .
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
10.  PENATALAKSANAAN
a.     Konservatif
1)      Penatalaksanaan pendukung diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan  istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk. (Smeltzer, 2002). Manajemen terapi :
a.       Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
b.      Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c.       Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
d.      Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
e.        Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2)      Pelarutan batu empedu 
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal: monooktanoin atau metil tertier butil eter/MTBE). Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung kedalam kandung empedu, melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T-Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
3)   ESWL ( Extracorporeal Shock- Wave Lithotripsy)
Prosedur noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik. Energy ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan.
4) Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk  melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.
b.     Penanganan Operatif
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien mengharuskannya.
Penatalaksanaan pra operatif :
1)    Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu
2)    Foto thoraks
3)    Elektrokardiogram
4)    Pemeriksaan faal hati
5)    Vitamin K (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)
6)    Terapi komponen darah
7)    Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa secara intravena bersama suplemen  hidrolisat protein mungkin diperlukan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati.
Penanganan operatif :
1)      Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi,  perdarahan, dan infeksi.
2)      Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan  lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
3)      Kolesistektomi minilaparatomi.
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil dengan efek nyeri paska operasi lebih rendah.
4)      Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang
dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu
kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter,2014).
5)      Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten yaitu Metil-TerButil-Eter  (MTBE) kedalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). (Garden, 2007).
6)      Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada penderita yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (Garden, 2007; Alina, 2008)
7)      Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur penderita terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk penderita yang sakitnya kritis (Sjamsuhidayat,2010).
8)      Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCPadalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingteroddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan 33 sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2014).

B.     Konsep asuhan keperawatan
1.    Pengkajian
a)      Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
b)      Riwayat Kesehatan
1.      Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
2.      Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai dengan mual dan muntah.
3.      Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi.
4.      Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
5.      Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal cepat sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.
6.      Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena kolelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.     
c)      Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum:
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
d)     Pola aktivitas
1.      Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran bedrest
2.      Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.






2.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada Colelitiasis adalah sebagai berikut:
Pre op :
1)      Nyeri akut b/d agen cedera  biologi
2)      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penyakit kronis
Post op:
1)      Nyeri akut b/d agen cedera  fisik (prosedur bedah)
2)      Risiko infeksi b/d prosedur invasif
3)      Gangguan pola tidur b/d imobilisasi
4)      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penyakit kronis
5)      Hambatan mobilitias fisik b/d nyeri













3.    RencanaAsuhan Keperawatan
Post op :
NO
Diagnosa Keperawatan
PERENCANAAN  KEPERAWATAN
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
Nyeri akut b/d agens cedera fisik (prosedur invasive)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam  diharapkan tingkat  Nyeri  berkurang dengan dengan indikator 1 (berat), 2 (cukup berat), 3 (sedang), 4 (ringan), 5 (tidak ada) dengan     kriteria hasil:
1.      Nyeri dilaporkan berkurang dari indikator 3 ditingkatkan menjadi 5
2.      Panjang episode nyeri berkurang dari indikator  3 menjadi 5
3.      Ekspresi nyeri wajah tidak ada dengan indikator 3 ditingkatkan menjadi 5
Menejemen Nyeri
1.      Lakukan pengkajian nyeri komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2.      Gunakan strategi komunikasi therapeutic untuk mengetahui pengalaman nyeri.
3.      Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang tepat.
4.      Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
5.      Ajarkan teknik relaksasi

Pemberian Analgesik
1.      Berikan analgesik sesuai waktu paruhnya.
2.      Ajarkan tentang penggunaan analgesik, strategi untuk menurunkan efek samping, dan harapan terkait dengan keterlibatan dalam keputusan pengurangan nyeri.

1.      Dapat mengetahui derajat nyeri yang di alami pasien.
2.      Untuk mengetahui penyebab nyeri
3.      Untuk mengurangi rasa nyeri.
4.      Untuk mengatasi atau mengurangi kecemasan yang terjadi pada pasein.
5.      Mengurangi nyeri











1.      Untuk mengurangi rasa nyeri
2.      Untuk mengurangi kecemasan pasien terkait pengurangan nyeri





2.
Risiko infeksi dengan faktor resiko infeksi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapakan tidak terjadi infeksi dengan indikator 1 (tidak pernah menunjukkan), 2 (jarang menunjukkan), 3 (kadang-kadang menunjukkan), 4 (sering menunjukkan), 5 (secara konsisten menunjukkan) dengan kriteria hasil:
Mengenali tandadan gejala yang mengindikasikan risikodari indikator 2 ditingkatkan menjadi 5
Perlindungan infeksi:
1.      Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
2.      Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau luka
3.      Instruksikanpasienuntukminumantibiotik yang diresepkan
4.      Ajarkan pasien dan anggota kelurga bagamana cara menghidari infeksi

Perawatan luka:
1.      Berikan rawatan pada luka

Perlindungan infeksi:
1.      Mengetahui secepatnya adanya tanda dan gejala dari infeksi
2.      Mempermudah kondisi luka
3.      Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
4.      Membrikan gambaran tentang tanda dan gejala dari infeksi
5.      Agar menghindari pajanan dan risiko infeksi dari luar
3
Gangguan pola tidur b/d imobilisasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah gangguan pola tidur dapat teratasi dengan indicator 1, (sangat terganggu) 2, (banyak tergangu) 3, (cukup terganggu) 4, (sedikit terganggu) 5, (tidak terganggu) dengan criteria hasil:
1.      pola tidur membaik dari indicator 2 ditingkatkan menjadi 5
2.      Jam tidur meningkat dari indicator 2 ditingkatkan menjadi 5

Manajemen lingkungan : kenyamanan
1.      Tentukan tujuan pasien dan keluarga dalam mengelola lingkungan dan kenyamanan yang optimal
2.      Mudahkan transisi pasien dan keluarga dengan adanya sambutan hangat dilingkungan yang baru
3.      Pertimbangkan penempatan pasien dikamar dengan beberapa tempat tidur (teman sekamar dengan maslah lingkungan yang sama bila memungkinkan)
4.      Hindari gangguan yang tidak perlu dan berikan waktu untuk istirahat
5.      Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung
6.      Sediakan lingkungan yang aman dan bersih
7.      Sesuaikan suhu ruangan yang paling menyamankan individu jika memungkinkan
8.      Berikan sumber-sumber edukasi yang relevan dan berguna mengenai manajemen penyakit dan cedera pada pasien dan keluarga jika sesuai

1.      Memberikan kenyamanan pada pasien
2.      Memudahkan pasien dalam beradapatasi dengan orang-orang sekelilingnya
3.      Agar pasien tidak kesepian dan mengurangi rasa takut
4.      Membiarkan pasien istrahat dengan tenang tanpa adanya gangguan
5.      Mmeberikan ketenangan bagi pasien
6.      Memberikan keamanan bagi pasien
7.      Agar pasien istirahat dengan tenang tanpa adanya gangguan karena kepanasan atau kedinginan
8.      Memebrikan informasikan pada pasien tentang penyakitnya dan untuk mengurangi kecemasan




4
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Penyakit kronis

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 asupan nutrisi terpenuhi dengan indicator 1 (Sangat menyimpang dari rentang normal) 2 (Banyak menyimpang dari rentang normal) 3 (Cukup menyimpang dari rentang normal) 4 (Sedikit menyimpang dari rentang normal) 5 (Tidak menyimpang dari rentang normal) dengan criteria hasil
1.      Asupan gizi dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
2.      Asupan makanan dari indicator 2 menjadi indicator 5
3.      Asupan cairan dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indikator 5
4.      Energi dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
Manajemen Nutrisi
1.      Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
2.      Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
3.      Anjurkan pasien untuk membawa makanan favorit pasien
Terapi Nutrisi
1.      Lengkapi pengkajian nutrisi
2.      monitor intake makanan
3.      Monitor instruksi diet  yang sesuai untu memenuhi kebutuhan nutrisi
Konseling Nutrisi
1.      Bina hubungan terapeutik berdasarkan rasa percaya  dan saling menghormati
2.      Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien
3.      Berikan informasi sesuai kebutuhan mengenai perlunya modifikasi diet bagi kesehatan


Manajemen Nutrisi
1.      Membantu memnuhi kebutuhan gizi pasien
2.      Membantu memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
3.      membantu meningkatkan nafsu makan pasien
Terapi Nutrisi
1.      Untuk mengetahui status nutrisi
2.      Utuk megetahui pemasukan
3.      Untuk mempertahanka status nutrisi
Konseling Nutrisi
1.      Memberika rasa peraya
2.      Membantu proses pemasukan makanan
3.      Menambah pegetahuan pasien



5
Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapakan tidak terjadi hambatan mobilitas dengan indikator 1 (sangat terganggu), 2 (banyak terganggu), 3 (cukup terganggu), 4 (sedikit terganggu), 5 (tidak terganggu) dengan kriteria hasil:
1. Bergerak dari posisi duduk keposisi berbaring dari indikator 2 ditingkatkan menjadi 5
2. berpindah dari satu sisi kesisi lain sambil berbaring dari indikator 2 ditingkatkan menjadi 5

Pengaturan posisi:
1.      Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan posisi
2.      Jelaskan pada pasien bahwa badan pasien akan dibalik
3.      Tinggikan kepala tempat tidur
1.              Pengaturan posisi:
1.   Memebrikan penjelasan atau pengetahuan menganai tindakan yang akan dilakukan
2.   Memberikan perubahan posisi setiap 2 jam dapat mengurangi decubitus
3.   Memebrikan rasa nyaman

Post op :
NO
Diagnosa Keperawatan
PERENCANAAN  KEPERAWATAN
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
Nyeri akut b/d agens cedera fisik (prosedur invasive)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam  diharapkan tingkat  Nyeri  berkurang dengan dengan indikator 1 (berat), 2 (cukup berat), 3 (sedang), 4 (ringan), 5 (tidak ada) dengan     kriteria hasil:
1.   Nyeri dilaporkan berkurang dari indikator 3 ditingkatkan menjadi 5
2.   Panjang episode nyeri berkurang dari indikator  3 menjadi 5
3.   Ekspresi nyeri wajah tidak ada dengan indikator 3 ditingkatkan menjadi 5
Menejemen Nyeri
1.      Lakukan pengkajian nyeri komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2.      Gunakan strategi komunikasi therapeutic untuk mengetahui pengalaman nyeri.
3.      Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang tepat.
4.      Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
5.      Ajarkan teknik relaksasi

Pemberian Analgesik
1.      Berikan analgesik sesuai waktu paruhnya.
2.      Ajarkan tentang penggunaan analgesik, strategi untuk menurunkan efek samping, dan harapan terkait dengan keterlibatan dalam keputusan pengurangan nyeri.

Menejemen Nyeri
1.      Dapat mengetahui derajat nyeri yang di alami pasien.
2.      Untuk mengetahui penyebab nyeri
3.      Untuk mengurangi rasa nyeri.
4.      Untuk mengatasi atau mengurangi kecemasan yang terjadi pada pasein.
5.      Mengurangi nyeri









Pemberian Analgesik
1.      Untuk mengurangi rasa nyeri
2.      Untuk mengurangi kecemasan pasien terkait pengurangan nyeri





2
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Penyakit kronis

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 asupan nutrisi terpenuhi dengan indicator 1 (Sangat menyimpang dari rentang normal) 2 (Banyak menyimpang dari rentang normal) 3 (Cukup menyimpang dari rentang normal) 4 (Sedikit menyimpang dari rentang normal) 5 (Tidak menyimpang dari rentang normal) dengan criteria hasil
1.      Asupan gizi dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
2.      Asupan makanan dari indicator 2 menjadi indicator 5
3.      Asupan cairan dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indikator 5
4.      Energi dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
Manajemen Nutrisi
1.      Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
2.      Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
3.      Anjurkan pasien untuk membawa makanan favorit pasien
Terapi Nutrisi
1.      Lengkapi pengkajian nutrisi
2.      monitor intake makanan
3.      Monitor instruksi diet  yang sesuai untu memenuhi kebutuhan nutrisi


Konseling Nutrisi
1.      Bina hubungan terapeutik berdasarkan rasa percaya  dan saling menghormati
2.      Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien
3.      Berikan informasi sesuai kebutuhan mengenai perlunya modifikasi diet bagi kesehatan


Manajemen Nutrisi
1.      Membantu memnuhi kebutuhan gizi pasien
2.      Membantu memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
3.      membantu meningkatkan nafsu makan pasien
Terapi Nutrisi
1.      Utuk mengetahui status nutrisi
2.      Utuk megetahui pemasukan
3.      Untuk mempertahanka status nutrisi
Konseling Nutrisi
1.      Memberika rasa peraya
2.      Membantu proses pemasukan makanan
3.      Menambah pegetahuan pasien













DAFTAR PUSTAKA

1.      Beckingham, I.J. (2011). ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
2.      Disease. Dalam: British Medical Journal V. 322, 13 Januari 2011.
3.      Lesmana, Laurentinus A. (2012). Penyakit Batu Empedu dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4.      Rahman, Ganiyu A. (2015). Cholelitiasis and Cholecystitis: Changing Prevalence in an African
5.      Community. Journal of the National Medical Association 97.11 (Nov 2015):1534-8.
6.      Nanda Internasional (2015-2017), Diagnosis Keperawatan:Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.
7.      Bulechek M. Gloria, Butcher K. Howard, Dkk.( 2013). Terjemahan Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 6. Indonesia
8.      Moorhead Sue, Johnson Marion, Dkk. (2013). Terjemahan Nursing Outcomese Classification (NOC) Edisi 5. indonesia

8 Benar Prinsip Pemberian Obat

8 Benar Prinsip Pemberian Obat 1. Tanyakan nama pasien dan tanggal lahir sesuai dengan gelang identitas pasien 2. Cek nama oba...