ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM
PENCERNAAN DENGAN KASUS CHOLELITIASIS POST OPERASI
A. Konsep Dasar
1.
PENDAHULUAN
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di
Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta
wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada
20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum
diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu
kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan
foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Dengan
perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak
penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin
kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan
moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan
bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu
gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau
jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent
stone).
2.
ANATOMI FISIOLOGI
Anatomi
sistem empedu
Sistem bilier terdiri dari organ dan saluran
(saluran empedu, kandung empedu, dan struktur yang terkait) yang terlibat dalam
produksi dan transportasi empedu. Transportasi empedu berikut urutan ini: Bila
sel-sel hati mensekresi kan empedu, maka dikumpulkan oleh sistem saluran yang
mengalir dari hati melalui saluran hati kanan dan kiri.
Saluran
ini akhirnya mengalir ke duktus hepatik umum. Duktus hepatika komunis kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari
kandung emped u untuk membentuk saluran empedu, yang berlangsung dari hati ke
duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak empedu semua berjalan langsung ke dalam
duodenum. Sekitar 50 persen dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah
pertama yang disimpan di kantong empedu, organ berbentuk buah pir yang terletak
tepat di bawah hati. Kemudian, saat makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan
melepaskan disimpan empedu ke duodenum untuk membantu memecah lemak.
Fungsi utama sistem empedu ini termasuk yait menguras
produk limbah dari hati ke duodenum
untuk membantu pencernaan dengan rilis terkendali empedu
Empedu adalah cairan kehijauan-kuning (terdiri dari
produk limbah, kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel
hati untuk melakukan dua fungsi utama, termasuk yang berikut:
a.
untuk mengangkut sampah
b.
untuk memecah lemak selama proses
pencernaan
Garam empedu adalah
komponen yang sebenarnya yang membantu memecah dan menyerap lemak. Empedu, yang
dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tinja, adalah apa yang memberi tinja
berwarna gelap cokelat
3.
PENGERTIAN
Kolelitiasis
(kalkulus / kalkuli , batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari
unsur – unsur padat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran, bentuk
dan komposisi yang sangat bervariasi. (Brunner & Suddart, 2002)
Kolelitiasis yaitu suatu material
mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu.Kolelithiasis disebut juga
batu empedu, gallstones, biliary calculus. Jika material ini ditemukan di
dalam saluran empedu disebut (koledokolitiasis).
4. KLASIFIKASI
Menurut
gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3
(tiga) golongan :
a.
Batu
kolesterol.
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan
mengandung lebih dari 70% kolesterol
b.
Batu
kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan
dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
c.
Batu
pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk,
seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi
5.
ETIOLOGI
Etiologi
batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi
terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan
komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu
empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi empedu yang
sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk
batu empedu.
Statis
empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau keduanya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin
dan sekretin ) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam
saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningatakan viskositas
empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi/pengendapan.Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu
,dibanding penyebab
terbentuknya batu.
6. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar batu
empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan sebagian besar batu di dalam
saluran empedu berasal dari kandung empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam
saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan
saluran atau setelah dilakukan pengangkatan kandung empedu.Batu empedu di dalam
saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis),
infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di
dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan
infeksi di bagian tubuh lainnya. Sebagian besar batu empedu dalam jangka waktu
yang lama tidak menimbulkan gejala, terutama bila batu menetap di kandung
empedu. Kadang-kadang batu yang besar secara bertahap akan mengikis dinding
kandung empedu dan masuk ke usus halus atau usus besar, dan menyebabkan
penyumbatan usus (ileus batu empedu). Yang lebih sering terjadi adalah batu
empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke dalam saluran empedu. Dari
saluran empedu, batu empedu bisa masuk ke usus halus atau tetap berada di dalam
saluran empedu tanpa menimbulkan gangguan aliran empedu maupun gejala.
Sekresi
kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu
banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam- garam empedu dan
lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan
karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk
metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet
tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu
empedu.
Batu
kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.
a. Batu kolesterol
Empedu
yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 %
kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol serta dalam
variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik
lain. Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu
bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya tergantung pada asam-asam empedu
dan lesitin (fosfolipid dalam empedu). Pada pasien yang cenderung menderita
batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningktan sintesis
kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu
oleh kolesterol yang kemudian keluar getah empedu, mengendap, dan membentuk
batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi
untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebgai iritan yang menyebabkan
peradangan dalam kandung empedu.
Menurut
Meyers & Jones, 1990, proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi
dalam empat tahap:
1)
Supersaturasi
empedu dengan kolesterol.
2)
Pembentukan
nidus atau inti pengendapan kolesterol
3)
Kristalisasi/presipitasi.
4)
Pertumbuhan
batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang
membentuk matriks batu.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total kasus batu empedu,
mengandung <20% kolesterol. Batu pigmen dapat dibagi kepada 2, yaitu :
1)
Batu
kalsium bilirunat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua,
lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen
utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi,
striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran
empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari
bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi
bakteri dan terbentuknya batu pigmen coklat. Baik enzim ß-glukoronidase endogen
maupun yang berasal dari bakteri ternyata mempunyai peran penting dalam pembentukan
batu pigmen ini. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu
dalam empedu yang terinfeksi.
2)
Batu
pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam
kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang
tak terekstraksi.Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati dengan peningkatan beban
bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik). Batu pigmen hitam ini terutama
terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini
belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril.
7.
TANDA DAN GEJALA
Batu empedu mungkin tidak
menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga 80% pasien tetap
asimtomatik seumur hidupnya (Robbins,2007). Penderita batu empedu sering
mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai
dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah
epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign).
Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea
dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat
kembali terulang. (Sjamsuhidajat,2005)
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya
nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat
dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung
lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung
empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi.
Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan
obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat
bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat
menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering
menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu.
8.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.
Ronsen abdomen/pemeriksaan sinar X/Foto
polos abdomen
Dapat
dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi
pemeriksaannya
hanya 15-20 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan.
2.
Kolangiogram/kolangiografi
transhepatik perkutan.
Yaitu
melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen
sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu)
dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa
beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dansyokseptik.
3.
ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholangio Pancreatographi)
Pemeriksaan ini memungkinkan
visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel kedalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu diduktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.
9.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang
dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1) Obstruksi
duktus sistikus
2) Kolik bilier
3)
Kolesistisis akut (peradangan pada dinding
kantung empedu)
a. Empiema
b. Perikolesistisis
c. Perforasi : Perforasi lokal
biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh
peradangan berulang kandung empedu. ferforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi
mengakibatkan kematian sekitar 30%.
4)
Kolesistisis
kronis :
a.
Hidrop
kandung empedu
b.
Empiema
kandung empedu
c.
Fistel
kolesistoenterik
d.
Ileus batu empedu (gallstone
ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh
duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung
empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat
menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat
terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon,
omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan
duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat
sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat
terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis
generalisata .
Batu kandung empedu dapat maju masuk
ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini
dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau
kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga
berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam
saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu
cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal)
dan menimbulkan ileus obstruksi.
10. PENATALAKSANAAN
a. Konservatif
1)
Penatalaksanaan
pendukung diet
Kurang
lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik
dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan
evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali
jika kondisi pasien memburuk. (Smeltzer, 2002). Manajemen terapi :
a. Diet rendah lemak, tinggi kalori,
tinggi protein
b.
Pemasangan
pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c.
Observasi
keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
d.
Dipasang
infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
e.
Pemberian
antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2)
Pelarutan batu empedu
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut
(misal: monooktanoin atau metil tertier butil eter/MTBE). Pelarut tersebut
dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung
kedalam kandung empedu, melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui
saluran T-Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat
pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
3) ESWL ( Extracorporeal Shock- Wave Lithotripsy)
Prosedur
noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang
diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut
menjadi beberapa sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media
cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau oleh muatan
elektromagnetik. Energy ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau
kantong yang berisi cairan.
4)
Pemberian asam
ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk melarutkan batu empedu terutama berukuran
kecil dan tersusun dari kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.
b.
Penanganan Operatif
Penanganan
bedah pada penyakit kandung empedu dan batu
empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah
berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk
mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang
dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur
darurat bilamana kondisi pasien mengharuskannya.
Penatalaksanaan pra operatif :
1) Pemeriksaan sinar X pada kandung
empedu
2) Foto thoraks
3) Elektrokardiogram
4) Pemeriksaan faal hati
5) Vitamin K (diberikan bila kadar
protrombin pasien rendah)
6) Terapi komponen darah
7) Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian
larutan glukosa secara intravena bersama suplemen hidrolisat protein
mungkin diperlukan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati.
Penanganan operatif :
1) Open kolesistektomi
Operasi
ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang
terjadi, perdarahan, dan infeksi.
2) Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah
nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan
terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati
yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan,
pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko
trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara
0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik,
tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat
bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga.
3) Kolesistektomi minilaparatomi.
Modifikasi
dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil dengan efek
nyeri paska operasi lebih rendah.
4)
Disolusi
medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan
adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi
hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini
dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu
empedu yang
dilakukan
dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria
terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu
kurang
dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter,2014).
5) Disolusi
kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas,
infus pelarut kolesterol yang poten yaitu Metil-TerButil-Eter (MTBE) kedalam kandung empedu melalui kateter
yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu
pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya
adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). (Garden, 2007).
6) Extracorporal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada penderita
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (Garden,
2007; Alina, 2008)
7) Kolesistotomi
Kolesistotomi
yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur
penderita terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk
penderita yang sakitnya kritis (Sjamsuhidayat,2010).
8) Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCPadalah
suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke
dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui
sebuah selang di dalam sfingteroddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka
agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus
halus. ERCP dan 33 sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus.
Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang
lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2014).
B. Konsep
asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada
kandung empedu yang banyak terjadi pada individu yang berusia di atas 40 tahun
dan semakin meningkat pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai resiko 3 kali
lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
b) Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Merupakan
keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya
keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas,
dan mual muntah.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari
keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus
utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal
dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety
(S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal
tersebut.
Klien sering mengalami nyeri di ulu
hati yang menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai
dengan mual dan muntah.
3.
Riwayat
penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah
menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body
Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji
ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.
Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok
manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang
dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding
dengan tanpa riwayat keluarga.
5. Riwayat psikososial
Pola
pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan
sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan
oleh rumah sakit asal cepat sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman,
nyeri tidak timbul sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.
6. Riwayat lingkungan
Lingkungan
tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena kolelitiasis
dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.
c)
Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum:
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan
kantung empedu. Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan
teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
d) Pola
aktivitas
1. Aktivitas
Dikaji
tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran
bedrest
2. Aspek Psikologis
Kaji
tentang emosi, pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.
2.
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul pada Colelitiasis adalah sebagai berikut:
Pre
op :
1) Nyeri akut
b/d agen cedera biologi
2) Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penyakit kronis
Post op:
1) Nyeri akut
b/d agen cedera fisik (prosedur
bedah)
2) Risiko
infeksi b/d prosedur invasif
3) Gangguan
pola tidur b/d imobilisasi
4) Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penyakit kronis
5) Hambatan
mobilitias fisik b/d nyeri
3.
RencanaAsuhan
Keperawatan
Post
op :
NO
|
PERENCANAAN KEPERAWATAN
|
|||
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
||
1.
|
Nyeri akut b/d agens cedera fisik
(prosedur invasive)
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tingkat Nyeri
berkurang dengan dengan indikator 1 (berat), 2 (cukup berat), 3
(sedang), 4 (ringan), 5 (tidak ada) dengan
kriteria hasil:
1.
Nyeri dilaporkan
berkurang dari indikator 3 ditingkatkan menjadi 5
2.
Panjang episode
nyeri berkurang dari indikator 3 menjadi 5
3.
Ekspresi nyeri
wajah tidak ada dengan indikator 3
ditingkatkan menjadi 5
|
Menejemen Nyeri
1.
Lakukan
pengkajian nyeri komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2.
Gunakan strategi
komunikasi therapeutic untuk mengetahui pengalaman nyeri.
3.
Pastikan
perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang tepat.
4.
Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan
antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
5.
Ajarkan teknik
relaksasi
Pemberian
Analgesik
1.
Berikan analgesik
sesuai waktu paruhnya.
2.
Ajarkan tentang
penggunaan analgesik, strategi untuk menurunkan efek samping, dan harapan
terkait dengan keterlibatan dalam keputusan pengurangan nyeri.
|
1.
Dapat mengetahui
derajat nyeri yang di alami pasien.
2.
Untuk mengetahui
penyebab nyeri
3.
Untuk mengurangi
rasa nyeri.
4.
Untuk mengatasi
atau mengurangi kecemasan yang terjadi pada pasein.
5.
Mengurangi nyeri
1.
Untuk mengurangi
rasa nyeri
2.
Untuk mengurangi
kecemasan pasien terkait pengurangan nyeri
|
2.
|
Risiko infeksi dengan faktor resiko infeksi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapakan tidak terjadi infeksi dengan
indikator 1 (tidak pernah menunjukkan), 2 (jarang menunjukkan), 3
(kadang-kadang menunjukkan), 4 (sering menunjukkan), 5 (secara konsisten
menunjukkan) dengan kriteria hasil:
Mengenali tandadan
gejala yang mengindikasikan risikodari indikator 2 ditingkatkan menjadi 5
|
Perlindungan
infeksi:
1.
Monitor adanya
tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
2.
Periksa kondisi
setiap sayatan bedah atau luka
3.
Instruksikanpasienuntukminumantibiotik
yang diresepkan
4.
Ajarkan pasien dan
anggota kelurga
bagamana cara
menghidari infeksi
Perawatan luka:
1. Berikan rawatan
pada luka
|
Perlindungan
infeksi:
1.
Mengetahui secepatnya adanya
tanda dan
gejala dari
infeksi
2.
Mempermudah kondisi luka
3.
Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
4.
Membrikan gambaran tentang
tanda dan
gejala dari
infeksi
5.
Agar menghindari pajanan dan
risiko infeksi
dari luar
|
3
|
Gangguan pola tidur b/d imobilisasi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah gangguan pola tidur dapat teratasi
dengan indicator 1, (sangat terganggu) 2, (banyak tergangu) 3, (cukup
terganggu) 4, (sedikit terganggu) 5, (tidak terganggu) dengan criteria hasil:
1.
pola tidur
membaik dari indicator 2 ditingkatkan menjadi 5
2.
Jam tidur
meningkat dari indicator 2 ditingkatkan menjadi 5
|
Manajemen lingkungan : kenyamanan
1. Tentukan tujuan pasien dan keluarga dalam mengelola
lingkungan dan kenyamanan yang optimal
2. Mudahkan transisi pasien dan keluarga dengan adanya
sambutan hangat dilingkungan yang baru
3. Pertimbangkan penempatan pasien dikamar dengan beberapa
tempat tidur (teman sekamar dengan maslah lingkungan yang sama bila
memungkinkan)
4. Hindari gangguan yang tidak perlu dan berikan waktu
untuk istirahat
5. Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung
6. Sediakan lingkungan yang aman dan bersih
7. Sesuaikan suhu ruangan yang paling menyamankan individu
jika memungkinkan
8. Berikan sumber-sumber edukasi yang relevan dan berguna
mengenai manajemen penyakit dan cedera pada pasien dan keluarga jika sesuai
|
1.
Memberikan
kenyamanan pada pasien
2.
Memudahkan pasien
dalam beradapatasi dengan orang-orang sekelilingnya
3.
Agar pasien tidak
kesepian dan mengurangi rasa takut
4.
Membiarkan pasien
istrahat dengan tenang tanpa adanya gangguan
5.
Mmeberikan
ketenangan bagi pasien
6.
Memberikan
keamanan bagi pasien
7.
Agar pasien
istirahat dengan tenang tanpa adanya gangguan karena kepanasan atau
kedinginan
8.
Memebrikan
informasikan pada pasien tentang penyakitnya dan untuk mengurangi kecemasan
|
4
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Penyakit kronis
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 asupan nutrisi terpenuhi dengan indicator 1 (Sangat
menyimpang dari rentang normal) 2 (Banyak menyimpang dari rentang normal) 3
(Cukup menyimpang dari rentang normal) 4 (Sedikit menyimpang dari rentang
normal) 5 (Tidak menyimpang dari rentang normal) dengan criteria hasil
1.
Asupan gizi dari
indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
2.
Asupan makanan
dari indicator 2 menjadi indicator 5
3.
Asupan cairan
dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indikator 5
4.
Energi dari
indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
|
Manajemen Nutrisi
1.
Tentukan jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
2.
Tawarkan makanan
ringan yang padat gizi
3.
Anjurkan pasien
untuk membawa makanan favorit pasien
Terapi Nutrisi
1.
Lengkapi pengkajian nutrisi
2.
monitor intake makanan
3.
Monitor instruksi diet yang sesuai untu memenuhi kebutuhan nutrisi
Konseling
Nutrisi
1.
Bina hubungan terapeutik berdasarkan rasa
percaya dan saling menghormati
2.
Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien
3.
Berikan informasi sesuai kebutuhan mengenai
perlunya modifikasi diet bagi kesehatan
|
Manajemen Nutrisi
1.
Membantu memnuhi
kebutuhan gizi pasien
2.
Membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien
3.
membantu
meningkatkan nafsu makan pasien
Terapi Nutrisi
1.
Untuk mengetahui status nutrisi
2.
Utuk megetahui
pemasukan
3.
Untuk mempertahanka status nutrisi
Konseling Nutrisi
1.
Memberika rasa peraya
2.
Membantu proses pemasukan makanan
3.
Menambah pegetahuan pasien
|
5
|
Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapakan tidak terjadi hambatan mobilitas
dengan indikator 1 (sangat terganggu), 2 (banyak terganggu), 3 (cukup
terganggu), 4 (sedikit terganggu), 5 (tidak terganggu) dengan kriteria hasil:
1. Bergerak dari posisi duduk keposisi berbaring dari
indikator 2 ditingkatkan menjadi 5
2. berpindah dari satu sisi kesisi lain sambil
berbaring dari indikator 2 ditingkatkan menjadi 5
|
Pengaturan posisi:
1.
Dorong pasien untuk
terlibat dalam
perubahan posisi
2.
Jelaskan pada pasien
bahwa badan
pasien akan
dibalik
3.
Tinggikan kepala
tempat tidur
|
1.
Pengaturan
posisi:
1.
Memebrikan penjelasan atau
pengetahuan menganai
tindakan yang akan dilakukan
2.
Memberikan perubahan posisi
setiap 2 jam dapat mengurangi decubitus
3.
Memebrikan rasa
nyaman
|
Post
op :
NO
|
Diagnosa Keperawatan
|
PERENCANAAN KEPERAWATAN
|
||
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
||
1.
|
Nyeri akut b/d agens cedera fisik
(prosedur invasive)
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tingkat Nyeri
berkurang dengan dengan indikator 1 (berat), 2 (cukup berat), 3
(sedang), 4 (ringan), 5 (tidak ada) dengan
kriteria hasil:
1.
Nyeri dilaporkan
berkurang dari indikator 3 ditingkatkan menjadi 5
2.
Panjang episode
nyeri berkurang dari indikator 3 menjadi 5
3.
Ekspresi nyeri
wajah tidak ada dengan indikator 3
ditingkatkan menjadi 5
|
Menejemen Nyeri
1.
Lakukan
pengkajian nyeri komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
2.
Gunakan strategi
komunikasi therapeutic untuk mengetahui pengalaman nyeri.
3.
Pastikan
perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan pemantauan yang tepat.
4.
Berikan informasi
mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan
antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
5.
Ajarkan teknik
relaksasi
Pemberian
Analgesik
1.
Berikan analgesik
sesuai waktu paruhnya.
2.
Ajarkan tentang
penggunaan analgesik, strategi untuk menurunkan efek samping, dan harapan
terkait dengan keterlibatan dalam keputusan pengurangan nyeri.
|
Menejemen Nyeri
1.
Dapat mengetahui
derajat nyeri yang di alami pasien.
2.
Untuk mengetahui
penyebab nyeri
3.
Untuk mengurangi
rasa nyeri.
4.
Untuk mengatasi
atau mengurangi kecemasan yang terjadi pada pasein.
5.
Mengurangi nyeri
Pemberian
Analgesik
1.
Untuk mengurangi
rasa nyeri
2.
Untuk mengurangi
kecemasan pasien terkait pengurangan nyeri
|
2
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Penyakit kronis
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 asupan nutrisi terpenuhi dengan indicator 1 (Sangat
menyimpang dari rentang normal) 2 (Banyak menyimpang dari rentang normal) 3
(Cukup menyimpang dari rentang normal) 4 (Sedikit menyimpang dari rentang normal)
5 (Tidak menyimpang dari rentang normal) dengan criteria hasil
1.
Asupan gizi dari
indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
2.
Asupan makanan
dari indicator 2 menjadi indicator 5
3.
Asupan cairan
dari indicator 2 ditingkatkan menjadi indikator 5
4.
Energi dari
indicator 2 ditingkatkan menjadi indicator 5
|
Manajemen Nutrisi
1.
Tentukan jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
2.
Tawarkan makanan
ringan yang padat gizi
3.
Anjurkan pasien
untuk membawa makanan favorit pasien
Terapi Nutrisi
1.
Lengkapi pengkajian nutrisi
2.
monitor intake makanan
3.
Monitor instruksi diet yang sesuai untu memenuhi kebutuhan nutrisi
Konseling Nutrisi
1.
Bina hubungan terapeutik berdasarkan rasa
percaya dan saling menghormati
2.
Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien
3.
Berikan informasi sesuai kebutuhan mengenai
perlunya modifikasi diet bagi kesehatan
|
Manajemen Nutrisi
1.
Membantu memnuhi
kebutuhan gizi pasien
2.
Membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien
3.
membantu
meningkatkan nafsu makan pasien
Terapi Nutrisi
1.
Utuk mengetahui
status nutrisi
2.
Utuk megetahui
pemasukan
3.
Untuk mempertahanka status nutrisi
Konseling Nutrisi
1.
Memberika rasa peraya
2.
Membantu proses pemasukan makanan
3.
Menambah pegetahuan pasien
|
DAFTAR PUSTAKA
1. Beckingham,
I.J. (2011). ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
2. Disease.
Dalam: British Medical Journal V. 322, 13 Januari 2011.
3. Lesmana,
Laurentinus A. (2012). Penyakit Batu Empedu dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Rahman,
Ganiyu A. (2015). Cholelitiasis and Cholecystitis: Changing Prevalence in an
African
5. Community.
Journal of the National Medical Association 97.11 (Nov 2015):1534-8.
6. Nanda
Internasional (2015-2017), Diagnosis
Keperawatan:Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.
7. Bulechek
M. Gloria, Butcher K. Howard, Dkk.( 2013). Terjemahan
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 6. Indonesia
8. Moorhead
Sue, Johnson Marion, Dkk. (2013). Terjemahan
Nursing Outcomese Classification (NOC) Edisi 5. indonesia